BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah
Kode
etik profesi merupakan salah satu aspek standarisasi profesi BK sebagai
kesepakatan profesional mengenai rujukan etika perilaku. Pekerjaan bimbingan
dan konseling tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang berlaku. Atas dasar nilai
yang dianut oleh pembimbing/konselor dan terbimbing/klien, maka kegiatan
layanan bimbingan dapat berlangsung dengan arah yang jelas dan atas
keputusan-keputusan yang berlandaskan nilai-nilai. Para pembimbing/konselor
seyogianya berfikir dan bertindak atas dasar nilai-nilai, etika pribadi dan
profesional, dan prosedur yang legal. Dalam hubungan inilah para
pembimbing/konselor seharusnya memahami dasar-dasar kode etik bimbingan dan
konseling.
Pekerjaan bimbingan dan konseling memerlukan adanya kode etik
profesional agar layanan bimbingan dapat terlaksana secara pforesional. Kode
etik profesional sebagai perangkat standar berperilaku, dikembangkan atas dasar
kesepakatan nilai-nilai dan moral dalam profesi itu. Dengan demikian kode etik
bimbingan dan konseling dikembangkan atas dasar nilai dan moral yang menjadi
landasan bagi terlaksananya profesi bimbingan dan konseling.
B.
Rumusan Masalah
Untuk
memfokuskan isi pembahasan dalam makalah ini, maka dibuatlah sebuah rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa
yang dimaksud dengan etika dalam praktik konseling?
2. Bagaimana
mengetahui praktik etis dan tidak etis?
3. Apa
saja yang menjadi hak-hak klien?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun
yang menjadi tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1.
Memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Psikologi Konseling
2.
Mengetahui etika
dalam praktik konseling
3.
Mengetahui landasan
dari paktek etis dalam praktik konseling
D.
Manfaat
Dengan adanya makalah ini diharapkan para pembaca dapat
mengenal isu etika, menilai praktek etis dan tidak etis serta memamami hak-hak
klien dalam praktik konseling.
BAB II
Pembahasan
A.
Pengertin
Etika dan Kode Etik
Etika (dari bahasa Yunani - yang berarti "kebiasaan")
adalah cabang dari aksiologi, salah satu dari empat cabang utama filsafat, yang
mencoba untuk memahami hakikat moralitas, untuk membedakan yang benar dari yang
salah Tradisi Barat Etika kadang-kadang disebut "filsafat moral"
". (WIKIPEDIA).
Etika merupakan kaidah-kaidah atau norma-norma yang diberlakukan
dalam suatu organisasi atau asosiasi. Etika merupakan kebutuhan bagi
organisasi dan para anggota yang ada didalamnya. Anggota yang berada dalam
organisasi tersebut akan leluasa melakukan kinerjanya karena dilindungi oleh
kerangkan etik yang diberlakukan. Etika dapat dipengaruhi oleh budaya pada
suatu lingkungan tertentu, serta dapat dipengaruhi oleh visi dan misi
organisasi tersebut.
Kode etik merupakan seperangkat aturan atau kaidah – kaidah,
nilai-nilai yang mengatur segala perilaku (tindakan dan perbuatan serta
perkataan) suatu profesi atau organisasi bagi para anggotanya.
B.
Pentinggya
Kode Etik
Etika merupakan pembuatan keputusan tentang moral manusia dan
interaksinya dalam masyarakat. Secara umum etika dapat diartikan sebagai suatu
disiplin filosopis yang berkenaan dengan perilaku manusia dan pembuatan
keputusan moral. Suatu profesi memerlukan kode etik untuk mengatur pola-pola
tindakan para pemangku jabatan profesi itu. Kode etik profesional merupakan
tatanan yang menjadi pedoman dalam menjalankan tugas dan aktivitas suatu
profesi. Pola tatanan itu seharusnya diikuti dan ditaati oleh setiap orang yang
menjalankan profesi tersebut. Kode etik profesional diperlukan dengan beberapa
alasan antara lain:
1.
Untuk melindungi profesi sesuai dengan
ketentuan dan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku. Kode etik ini akan memberikan kemungkinan
profesi dapat mengatur dirinya sendiri dan melaksanakan fungsinya secara
otomatis dalam kendali perundang-undangan yang berlaku.
2.
Untuk mengontrol terjadinya ketidak-sepahaman
dan persengketaan dari para pelaksana. Dengan demikian kode etik dapat menjaga
dan meningkatkan stabilitas internal dan eksternal profesi.
3.
Melindungi para praktisi dalam masyarakat
terutama dalam kaitan kasus-kasus malapraktek (praktek-praktek yang salah).
Bila kegiatan praktek sesuai dengan garis-garis etika, maka perilaku praktek
dapat dianggap memenuhi standar.
4.
Melindungi klien dari praktek-praktek yang
menyimpang dari orang-orang yang secara profesional tidak berwenang.
C.
Landasan
dari Praktik Etis
Ada kemungkinan seorang praktisi sadar dan beritikat
baik dalam mengikuti kode etik profesinya masih bisa berlaku tidak etis secara
“tidak sadar” dan telah melakukan pelanggaran. Sebagai kesimpulan umum dapat
dikatakan bahwa praktik etis menguntungkan klien, sementara praktik tidak etis
dilakukan demi keuntungan praktisi. Beberapa praktik jelas-jelas etis, dan yang
lainnya tidak etis.
1. Menilai
Praktek Etis dan Tidak Etis
Pope,
Tabachnick, dan Keith Spiegel (Corey, 2005:) mengutip hasil survey yang
dilakukan oleh para peneliti tentang identifikasi terapis yang melalukan
praktek baik, dan yang buruk. Para peneliti tersebut menemukan hasil bahwa
sebagian besar (80%) dari responden menilai dari berbagai tindakan yang ada
hubungannya dengan sex, aktifitas bisnis, kerahasiaan, dan memberi pelayanan
yang melampaui kompetensi seorang sebagai sebagai praktik yang buruk.
Adapaun
penjelasan si ngkatnya sebagai berikut :
a. Sex
Pope, dkk (Corey 2005:)
memaparkan ada 5 jenis praktik yang menyangkut isu seksual, yakni:
1. Terapis
(konselor) mengadakan kontak seksual dengan klien
2. Melakukan
kegiatan erotic dengan klien
3. Melepas
pakaian didepan klien
4. Membiarkan klien melepaskan pakaiannya
5. Berhubungan
seks dengan orang yang dibawah pengawasan klinik.
Kelima
hal tersebut diatas, sama sekali tidak dibenarkan dan sangat tidak etis karena
akan mencenderai proses pelayanan konseling yang efiktif dan professional.
b. Aktifitas
bisnis
Terdapat tiga butir
yang berkenaan dengan baktifitas bisnis, yakni ;
1. Mereferal
(mengalihtangankan) klien kepada pihak lain dengan imbalan uang
2. Berbisns
dengan klien
3. Meminjam
uang dari klien
c. Isu
kerahasiaan
Hak
individu untuk memperoleh kerahasiaan selalu muncul dalam kontes/hubungan
nilai-nilai dan hak orang lain. Pope, dkk (Corey 2005:), mengemukakan beberapa
contoh berkenaan dengan isu kerahasiaan ini, yaitu tanpa sengaja membuka data
rahasia dan membahas keadaan klien (dengan menyebutkan nama) kepada teman.
Berikutnya ialah member terapi pada saat mabuk juga masuk dalam poit penting
isu kerahasiaan ini.
Para
professional selalu meyakini fakta bahwa kesucin (sancitity) lebih bearti
daripada suatu janji. Sebagai contoh bahwa seorang konselor yang diharapkan
untuk memegang rahasia dalam hal mana seorang klien baru saja meletakkan sebuah
bom waktu disebuah auditorium yang penuh orang. Dalam hal ini Paul (Bigg &
Blocher, 1986:136) mengatakan behwa ‘Dalam keadaan tertentu, seorang konselor
atau terapis mempunyai suatu kewajiban untuk memperingatkan orang lain dari
suatu ancaman yang dibuat klien.’
Sehubungan
dengan pengelolaan kerahasiaan ini Bigg & Blocher (1986:137-144)
mengemukakan tiga level kerahasiaan yang bisa diterapakan dalam situasi klinis,
yakni :
1. Tingkat
pertama. Pada level ini dasar yang penting sekali adalah bahwa semua informasi
mengenai individu, organisasi, yang menyangkut harga diri, rahasia pribadi dan
lain-lain, di handle/ ditangani secara professional, jenis rahasia ini bukan
hanya diterapkan pada klien yang ditandai, tapi juga para individu lain atau
organisasi lain seperti teman, keluarga, sekolah, agen-agen keamanan dan
lain-lain yang mungkin memberikan informasi, dijaga kerahasiannya sebagai
bagian dari proses klinis. Para professional menyimpan informasi tersebut yang
tidak akan pernah dibocorkan secara sembrono kepada siapapun.
Jenis
kerahasiaan ini meliputi semua informasi tentang hubungan konseling, bahkan
sekalipun klien sudah dialihtangankan (referral). Data interview klinis
dipelihara, pembicaraan telephon, janji-janji dan sebagainya harus dijaga
kerahasiaannya. Dan file-file yang mudah
diakses hanya bagi/oleh professional atau pegawai-pegawai yang dipercaya mampu
menjaga kerahasiaan, dimana mereka dipilih dsn dilatih untuk itu dan secara
rutin diawasi.
Tentu
saja jenis kerahasiaan ini diterapkan oleh semua professional dalam setiap
situasi. Hal ini merupakan suatu bentuk perhatian yang mendasar dan merupakan
dasar dari semua hubungan professional.
2. Tingkat
kedua. Cirri yang menonjol dari tingkat kerahasiaan ini adalah bahwa
informasi-informasi hanya akan dibocorkan untuk kebaikan klien. Dalam banyak
situasi informasi tentang klien dipertukaran (shared) di antara para
professional. Dibanyak waktu, pertukaran informaasi jug aterjadi dengan
pasangan suami/istri, orang tua, guru dan orang lain yang bermakna bagi klien.
Konseling
dengan anak-anak sering menghasilkan situasi-situasi dalam hal manapertukaran
informasi dengan orang tua merupakan bagian informasi dengan orang tua
merupakan bagian yang penting dari treatmen. Treatmen bagi orang dewasa untuk
berbagai masalah seperti alkoholik, pengguna obat terlarang melibatkan anggota
keluarga, yang jelas pertukaran informasi ini akan selalu dilakukan hanya demi
kebaikan klien dan secara penuh diketahui oleh klien, dengan kata lain seizin
klien. Namun dalam hal tertentu, konselor tetwp memegang teguh data klien
walaupun klien sendiri yang memintannya, seperti data tentang hasil tes
kepribadian, konselor tidak memberikannya kepada praktisi lain yang dianggap
konselor tidak kualified untuk meginterprestasikannya. Dipihak lain,
kadang-kadang kesulitan muncul dalam suatu insitusi atau perwakilan ketika
kepala atau yang lainnya mencari informasi tentang klien yang mungkin terlibat
dalam perlanggaran disiplin, akademik, atau kesulitan-kesulitan legal. Konselor
secara etik dibatasi untuk melayani keinginan yang paling baik dari klien dalam menghandal informasi. Dalam
hal ini prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan etis dibatsi untuk menghandal
informasi. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan etis harus
secara jelas difahami oleh seorang perwakilan, sekolah dan organisasi lain
dalam situasi sulit.
3. Tingkat
ketiga. Dala tingkat ini kerahasiaan akan dibocorakn hanya dalam situasi yang
erkstriam seperti membahayakan orang lain.
d. Memberi
pelayanan kompetensi
Corey
menyebutkan bahwa ada 60% dari responden diminta member penilaian tentang
praktik yang butuk mencakup hubungan ganda atau melanggar batas-batas
semestinya yang ada dalam hubugan trapeutik. Beberapa contohnya yakni :
1. Terlibat
hubungan seks dengan mantan klien
2. Memberi
terapi kepada salah seorang teman anda
3. Mengundang
klien ke pesta atau pertemuan keakraban
4. Secara
langsung mengusulkan seseorang untuk
menjadi klien anda
Corey
menambahkan, bahwa perbedaaan antara praktik yang baik atau buruk
kadang-kadang tidak jelas, sehingga sulit diberi penilaian, beberapa
diantaranya yakni: meyudahi terapi setelah klien tidak bisa membayar lagi,
mereka-rekadalam khayal seksual tentang seorang klien, tergiur oleh penampilan
klien, hanya menerima klien pria atau wanita, dan menerima hadiah dari klien yang
bernilai kurang dari $5.
2. Hak
Klien
Klien
adalah orng yang bermasalah oleh karena itu sebagai konselor, ia harus
menghargai klien. Berikut adalah hak klien dalam proses konseling menurut Corey
(1995:80), yakni sebagai berikut:
1. Hak
untuk menyatakan persetujuan atas hal-hal yang telah diinformasikan sebelumnya.
Yaitu hak untuk melindungi permasalahan klien sehingga mengembangkan prosedur
untuk klien menentukan pilihan. Memberikan peluang pada klien untuk meyetujui
hal yang perlu diinformasikan oleh konselor dapat berkerjasama dengan aktif
sehingga hubungan dapat terjalin dengan baik.
2. Factor
yang mempengaruhi keinginan klien untuk masuk dalam kegiatan konseling
Konselor
harus memberikan tahu klien tentang tujuan, sasaran, teknik, peraturan-peratran
prosedur dan batas-batas yang bisa mempengaruhi hubungn pada saat atau sebelum
saat hubungan konseling mulai diadakan. Berkut ini merupakan factor-faktor yang
mempengaruhi keinginan klien masuk dalam kegiatan konseling, yakni:
1. Rekaman
wawancara atau penggunaan kaca tembus sebagai alat observasi
2. Kebijakan
yang diterapakan disekolah pada suatu wilayah yang dipacu demi kepentingan
perlindungn hukum dan bukan siswa yang sedang mengalami krisis
3. Keadaan
terkondisi dapat dilakukan terapi?
3. Hak-hak
kelompok muda usia
Yaitu hak untuk
mendapatkan prilaku perawatan dalam dunia usia muda. Kepastian prilaku hukum
dan konseling dapat diutamakan dalam hal yang menyangkut kegiatan masa muda.
Dalam hal ini konselor dapat mengikuti cara pendekatan yang dapat diterima oleh
usia muda.
4. Hak
untuk mendapatkan rujukan
Yaitu apabila konselor sudah tidak
mampu lagi membantu meyelesaikan permasalahan klien atau dengan kata lain
dilakukan permasalahan klien atau dengan kata lain dilakukan referral kepada
ahli lainnya. Akantetapi jika klien menolak rujukan yang telah disarankan oleh
konselor, maka konselor tidak berkewajiban melanjutkan hubungan konseling ini.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Etika dalam menjalankan suatu tugas profesi merupakan hal yang
essensial karena menyangkut prestise dari profesi tersebut. Kode etik yang
biasa terdapat pada suatu profesi termaksud profesi konselor. Kode etik ini
dapat melindungi kinerja konselor agar tidak melenceng dari tugas yang
seharusnya. Kode etik pula dapat membantu konseli untuk mendapatkan layanan
yang efektif karena kinerja konselor diarahkan untuk memberikan layanan sesuai
kode etik profesinya. Kode etik profesi konselor merupakan aturan atau pedoman
atau pegangan atau tata cara pelayanan BK yang ditujukan untuk seorang yang
ahli dalam profesi (konselor) dari suatu organisasi profesi atau lembaga atau
pemerintah agar konselor mencapai standarisasi profesionalitas profesinya.
B.
Daftar Pustaka
Haries,
Ronald. 2013. Psikologi Konseling. Depok: Penerbit Romeo Press
http://konselingperkembangan.blogspot.com/2011/03/kode-etik-dan-isu-konselor.html
diunduh pada tanggal 18 April 2013 pukul 8.40 WIB
http://id.prmob.net/etika/asosiasi-australia-konseling/australia-32964.html
diunduh pada tanggal 18 April 2013 pukul 8.48 WIB.
http://gesharandiansyah.blogspot.com/2011/05/isu-etik-dan-legal-ti-dalam-pelayanan.html
diunduh pada tanggal 18 April pukul 8.41 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar